Politik Reaksioner Islam Sumatera Barat Pasca Orde Baru

Yopi Fetrian (FISIP Andalas University)

Perkembangan tradisi beragama di Sumatera Barat sekarang ini menarik untuk direfleksikan pada konteks perkembangan politik Islam nusantara. Meskipun perkembangan tradisi politik Islam di Indonesia awalnya banyak dipengaruhi oleh gerakan pembaharuan Islam di Sumatera Barat, namun situasi yang terjadi sekarang tidaklah mencerminkan fakta sejarah tersebut.

Sebenarnya kemunduran politik Islam di Sumatera Barat sudah terlihat sejak relatif berkurangnya sumbangan pemikiran dari ulama Sumatera Barat di pentas nasional sejak beberapa dasawarsa lalu. Secara bersamaan, jumlah sekolah-sekolah Islam (pesantren) di Sumatera Barat juga banyak berkurang, baik jumlah, maupun peminatnya.

Sungguhpun banyak kalangan yang meyakini bahwa kemunduran Islam di Sumatera Barat diakibatkan represi pemerintah pusat menyertai kegagalan pemberontakan PRRI 1956, namun keterbukaan politik yang terjadi sejak era tahun 1960-an dengan menguatnya posisi Islam politik di tingkat nasional dan diikuti dengan era reformasi tidak menunjukkan perbaikan pada tradisi politik Islam di Sumatera Barat. Padahal, upaya mengembalikan sistem nilai Sumatera Barat kembali ke Nagari dan Surau sudah memasuki tahun ke-3.

Tidak heran berbagai persoalan sosial, perjudian, prostitusi, merambati wilayah kota, kabupaten dan nagari, termasuk isu Kristenisasi ditanggapi secara reaksioner. Mobilisasi massa untuk menentang penyakit sosial di dalam masyarakat terjadi dalam frekuensi yang cukup tinggi akhir-akhir ini.

Bagaimanapun, identitas keIslaman rakyat Sumatera Barat tampaknya beralih dari mitos kemapanan dan keberhasilan menyatukan adat dengan agama, adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah, menjadi identitas orang kalah yang mereaksi kegagalan yang terjadi pada mereka. Mereka seperti tidak mampu memanfaatkan “angin yang sedang berubah”.