Relasi Kuasa di Atas Tanah Baru: Peran yang Diabaikan

Siti Fikriyah Khuriyati (Lembaga Lapera)

Saya bermaksud menghadirkan pembincangan ini dalam konteks masyarakat Kampung Laut  Segara Anakan yang sedang mengalami proses perubahan sistem produksi berbasis laut menjadi sistem produksi berbasis tanah. Masyarakat Kampung Laut  awalnya adalah nelayan yang melakukan aktivitas produksi berbasis laut. Baik laki-laki maupun perempuan terlibat dalam proses produksi ini, walaupu demikian perempuan dianggap tidak memiliki identitas produksi yaitu penyebutan diri mereka sebagai nelayan. Perempuan tetap dianggap sebagai ibu rumah tangga saja. Oleh karenanya juga ia tidak memiliki kuasa atas alat produksi nelayan yaitu perahu. Kondisi buruk yang terus berlangsung membuat nelayan mengubah sistem produksinya dengan melakukan pembukaan tanah timbul Segara Anakan yang menempel pada sisi utara tebing pulau Nusa Kambangan. Pembukaan lahan dilakukan masyarakat Kampung Laut. Baik laki-laki maupun perempuan melakukan pembukaan tanah timbul yang masih diliputi mangrove. Di samping turut membuka lahan, perempuan bertanggungjawab atas tersedianya konsumsi dan perbekalan yang cukup untuk pembukaan lahan tersebut.  Pembukaan lahan di tanah timbul telah menarik perhatian dari banyak pihak. Mulanya para petani lapar lahan dari Sunda; kemudian pihak-pihak di luar rakyat seperti Lembaga Pemasyarakatan Nusa Kambangan, Pemerintah Daerah, dan investor. Mereka membuat counter claim terhadap claim historis yang dibangun masyarakat Kampung Laut. Para pendatang ini menghadapi represi dengan pembatasan kehadiran mereka. Melalui kebijakan pemberian nomor rumah pemerintah kecamatan melakukan pembongkaran dan pembakaran rumah sekaligus pengusiran pada para pendatang yang tidak mendapatkan nomor. Investor datang dalam bentuk investasi tambak ratusan ha dan perkebunan pisang.

Perempuan melakukan peranan penting dalam mempertahankan keluarga dan masyarakat tersebut. Konstruksi patriakh yang mengharuskan mereka untuk bertanggungjawab atas ketersediaan konsumsi (makanan di atas meja) dan perbekalan keluarga, telah membuat perempuan melakukan aktivitas produksi subsistensi. Aktivitas tersebut menopang kemampuan keluarga dan masyarakat untuk terus bertahan di tanah timbul Nusa Kambangan. Setelah sepanjang 30 tahun lebih mereka yang berada di tanah timbul Nusa Kambangan telah melakukan perlawanan baik diam-diam maupun terbuka terhadap klaim pihak-pihak yang juga ingin menguasai tanah timbul tersebut dan terus bertahan terhadap kondisi alam yang tidak menguntungkan membuat mereka memperoleh pengakuan atas penguasaan mereka terhadap tanah tersebut. Namun dibalik perebutan kuasa dengan pihak-pihak di luar rakyat sesungguhnya telah terjadi juga ‘pengambilan’ kuasa sepihak atas kuasa perempuan terhadap tanah yang juga telah dipertahankan dan diperjuangkan perempuan.